MELAWAN RESTU

Setelah lebih dari dua tahun vakum membuka blog, bahkan dijeda alamiah oleh pandemi, akhirnya saya mencoba menulis lagi, tapi mencoba di platform yang berbeda dengan tulisan yang sedikit tabu tentunya , (upss) seolah menantang diri sih sebenarnya. mengangkat tema atau isu sosial yang sedang naik daun juga ya, genre yang zaman kiwari sering muncul di film layar lebar atau sekadar serial platform daring, apalagi kalau bukan boyslove. hihi

lagi lagi saya mohon maaf jika tidak berkenan.

langsung saja ya, karena sudah diserang rasa kantuk juga, saya bagikan draftnya berikut,

Tulisan aslinya ada di platform Joylada

eh anu..

ini dia cuplikan bagian 6 nya…

*******

Saat tangannya digamit dua orang yang begitu spesial di hati Dodi–ibu dan Jabar–menuju pelaminan, mulutnya memang hanya bisa diam, dadanya berdebardebar. Tapi nyatanya pikiran Dodi sedang traveling jauh pada kilas balik tiga bulan yang lalu saat pertamakali ibunya mengutarakan mimpi masa depannya untuk anak sematawayangnya itu.

Sore sehabis Dodi tuntas menyelesaikan kesibukan kerjanya di kantor, Galaxy Note 9 nya bernyanyi lagu favoritnya, Scenario Love dari IKAN boyband  Korea yang kini sudah cukup terkenal. Rupanya ada panggilan dari ibunya.
“Halo, Di, jadi kan pulang ke Cianjay malam ini?”

“Jadi bu, Dodi sudah minta tolong Jabar untuk anterin ke terminal sehabis magrib.”

“hati-hati di jalan ya. jangan lupa berdoa.”

“Baik ibu ratu.”

**
Gegas Dodi menancap gas motornya membonceng Jabar tentu saja, menuju rumah yang baru ditempatinya 3 bulan yang lalu setelah dua tahun tinggal di kostan kecil. Jabar adalah teman istimewa, sekaligus orang yang paling berjasa di hidupnya. Terlebih dari itu ada janji rahasia di antara keduanya yang sangat tabu jika diketahui khalayak ramai, bahkan kedua orangtua masing-masing.

“tumben banget ibu nyuruh kamu pulang dadakan begini? ada apasih Di?” cecar Jabar setelah motor mereka parkir di halaman rumah

“Mungkin masalah warungnya, Bar. kemarin Ibu cerita sedikit ditawarin jadi agen galon air mineral sama pamanku, tapi kurang tahu juga detailnya bagaimana.”

“Paman Asep yang suka hutang itu sama ibumu kan?”

“iya.”

“Semoga sih bukan kedok buat hutang lagi ya!”

“jangan gitu. ngga boleh buruk sangka sama orang.”

“iya deh. iya. udah siap semuanya kan kamu packingnya? buruan mandi gih, biar abis magrib langsung gas.”

“oke.”

Tak ada kecemasan berlebih dari Jabar kala mengetahui kepulangan Dodi yang mendadak itu hanya untuk urusan rumah dan mungkin rindu ibunya. Kelak, Jabar akan tahu kalau urusannya tak seremeh itu. Setangah jam kemudian mereka telah siap untuk mengaspal lagi menuju terminal bus.

Bus yang ditumpangi Dodi berangkat tepat waktu. Laju  3 jam yang tak terasa karena lelah sehabis pulang kerja yang dirasakan Dodi, ia terbangun saat kernet bus membangunkannya di terminal kota tujuannya, membuka pesan di ponselnya yang berisi teks dari ibunya.

paman asep yang jemput dodi ke terminal. nanti hubungi dia saja ya Di.
Saat turun selangkah dari Bus, rupanya Paman Asep memarkir motornya  tepat di sebelah pintu  depan bus, otomatis paman Asep langsung mengenali postur  ponakannya itu terlebih dahulu saat keluar dari AgroMas. dua orang beda usia itu bersalaman lalu bercakap sebentar sebelum keduanya mengendarai CB100 berboncengan.


Jarak terminal menuju rumahnya hanya 30 menit mengendarai sepeda motor. Sehingga tepat pukul 21.30 mereka sudah sampai di depan rumah dengan di sambut Ibu Minah yang masih mengenakan mukena, karena  mungkin enggan melepas sehabis salat isya.

Tampak segera pemandangan Ibu dan anak itu saling berbalas pelukan rindu. Tak lupa Dodi mencium punggung tangan ibunya  tanda bakti anak dengan orangtuanya.

Ibu Minah lalu mengangsurkan selembar lima puluh ribuan pada adik kandungnya yang sudah mau direpotin, ibu minah juga tak lupa mengucapkan terima kasih.

“Masuk di, langsung mandi ya, ibu sudah panasin air tadi buat kamu mandi, semoga belum dingin ya di ember.”

“baik, bu. Dodi mandi dulu ya.” jawab Dodi sambil berlalu. Melucuti sepatu Reebox putih dan jaket EGIER warna dongkernya. Kaos putih bergambar kepala panda, celana chinos krem, ke semua pakaiannya itu adalah hadiah dari Jabar di setiap ulang tahunnya. Itu artinya baju couple yang sepotong lainnya Jabar juga punya sama persis. hal ini adalah sebagian kecil rahasia mereka berdua.

“Ibu udah masakin rica-rica bebek kesukaanmu, Di. Makan dulu ya, sebelum tidur. kamu pasti lapar kan?” sapa Ibu Minah kala melihat anaknya sudah rapi  keluar dari kamarnya dan memakai piyama.

” ibu udah makan?”

“udah tadi sore. kamu kemaleman sih.”

“yah curang, Dodi makan sendirian dong.” rengek Dodi manja. meski usianya sudah cukup dewasa,  sifat anak tunggal tetap kembali pada aslinya saat bertemu orangtua–atau lebih tepatnya hanya pada ibunya adi bisa bermanja–, itu karena ayah Dodi telah lama meninggalkannya sejak SD. orangtuanya bercerai atau hanya pisah semacam itulah.

“ibu temenin di meja makannya ya.”
Ritual makan berlalu dalam lima belas menit saja. Dodi yang sebetulnya masih penasaran dengan maksud ibunya memintanya pulang mendadak pun akhirnya bertanya.

“Ibu, ada masalah apa sih kalau boleh tahu.” tembak Dodi pada akhirnya.

Ibu Minah sekejap menghentikan kesibukan tangannya menyulam pada kain sewarna buah persik, selembar kain yang lebarnya seukuran taplak meja. Menghela napas. lalu meletakkan prakaryanya itu di meja makan.

“tidak apa-apa kalau ibu ngomong sekarang? atau besok pagi saja?”

“Sekarang saja bu, Ibu kan tahu anak ibu paling ngga  bisa tidur dalam rasa penasaran, yang ada Dodi cuma insomnia bu.”  Sambil Dodi berjalan menuju wastafel untuk memberesi piring kotornya. Sekejap untuk duduk kembali di samping ibunya persis.

“Ada apa?” ulangnya dengan nada lemah lembut.

“Ibu punya keinginan. sekaligus mimpi masa depan seorang ibu pada anaknya.”

Deg. Hati Dodi mendadak nyeri, seolah sekawanan lebah baru saja menyengat dadanya. Dia lebih dari paham maksud ibunya meski kata kunci itu belum sepatah katapun terucap.

” Dodi Mau kan ya mewujudkan mimpi ibu?” Kali ini tatapan sendu seorang ibu menabrak mata Dodi dengan telak. Genggaman tangan hangat itu seolah mengandung aliran listrik yang akan mengendalikan gerak lidah Dodi selanjutnya.

“Tapi…Dodi belum siap bu, Dodi masih belum siap mengungkapkan semuanya pada ibu,” tentang Jabar. Benar belaka, lidah Dodi kelu, tak ada kata selanjutnya yang lidahnya mampu ucap selepas tapi.
“Tenang, Di, ibu sudah punya calonnya, Dodi tak usah repot mencari..”

“Siapa Bu?” Dodi masih sedikit terbata.

“Dini, anak pak Kyai Samsul. dia baru saja selesai dari pesantren. Anaknya pasti pinter. Calon istri solehah buat kamu. Ibu cocok sama dia. Dodi pasti cocok, orangnya kalem kok. Dodi pernah bilang sama Ibu, tak suka perempuan agresif dan cerewet selain ibu kan?” ungkap ibu minah dengan berapi-api.

“Kapan? sejak dulu ibu memang selalu memutuskan jalan hidup Dodi, tapi untuk yang satu ini apakah harus juga Bu? lagipula ini semua terlampau mendadak bu, Dodi butuh waktu menjelaskan semuanya pada Jabar, atau paling tidak memikirkan rencana terbaik untuk mengakhiri semuanya jika memang harus.”


“Sesiapnya Dodi ya, kalau besok cukup kenalan dulu saja, eh apa itu ya namanya PDKT ya?” Ibu Minah menggenggam tangan anaknya seolah penuh harapan.

“Nah, untuk selanjutnya kita rembug lagi…” cerocos Ibu Minah tanpa menunggu tanggapan Dodi

“… tapi ibu punya rencana, bagaimana sehabis idulfitri kamu lamaran? setuju ya? Tapi jangan buru-buru. nanti saja itumah gampang. Udah sekarang kamu istirahat dulu, sudah malam. Ibu mau lanjutin ini sebentar.” Dodi berjalan dengan langkah bak robot yang nyaris habis baterainya saat menuju kamar. Sementara Ibu Minah melanjutkan sulamannya menggambar sebentuk kelopak bungan mawar berwana merah.

Dodi tergeletak di kamar tidurnya dengan rasa campuraduk. seolah tak ada pilihan lain. melawan restu apakah hal yang mungkin jikalau hubungan terlarangnya dengan Jabar yang jelas tabu dan sangat mustahil untuk mendapat doa restu ibu.

Matanya terpejam dalam rasa kebas nan ganjil menggerogoti badannya. semua orang patah hati atau semacamnya pasti tahu bagaimana rasanya, yah, antara mimpi dan nyata. Belum lagi, ia memikirkan bahwa besok masih harus bertemu langsung dengan  Dini, gadis yang samar ia kenal waktu kecil saat taman kanak-kanak, juga karena rumah mereka hanya terjeda lima petak rumah tetangga.

Ponselnya bergetar, ada beberapa baris teks dari Jabar  pada pita layar pemberitahuan namun tak mampu Dodi ketuk pintasan untuk balas pesan.

“Di, udah sampai jam berapa tadi?”

“kok ngga kasih kabar?”

“ya sudah met istirahat ya libby.”

Libby dan Liebbo adalah kode panggilan kasih sayang antara Jabar dan Dodi, entah siapa yang pertama memberikan ide. tapi yang jelas, sejak mereka saling bepergian bersama, panggilan itu terbentuk dengan alamiah. mengalir bagai air sungai yang didamba samudera. tanpa ada keterpaksaan.

Jabar, aku minta maaf. jika kelak aku benar-benar tak bisa melawan kehendak ibuku. aku harus jadi anak tunggal yang baik untuk ibuku. Mungkin begitulah batin Dodi jika dapat berucap. tapi nyatanya hanya air mata berlinang bahasa tubuh yang mampu Dodi tunjukkan pada malam menuju sabtu itu.

Esok pagi saat membuka mata, Dodi berharap semua yang terjadi ini hanya halusinasi.

Link Joylada SUARA-SUARA DI KEPALA

MENGAIS REZEKI DI ERA PANDEMI (dibukukan)

SENIN, 25 MEI 2020

IDUL FITRI tahun ini terasa berbeda bagi seluruh umat islam di Indonesia bahkan di seluruh benua, tak terkecuali bagi Ibu Nur, Eka anak sulungnya yang merantau di Bandung tak pulang kampung seperti tahun-tahun sebelumnya. 

“Lebaran tahun ini sepi ya, Bu? Ngga boleh mudik sama pemerintah… Kereta, bus, pesawat, semua dibatalkan” ujarku memulai obrolan.

 “Iya, tiket kereta anakku dibatalin, duitnya dibalikin lagi…” jawab ibu Nur sambil mengaduk kopi pesananku,dan menyuguhkannya padaku “…tidak apa-apa, aturan pemerintah  begitu, ya kita ikut saja. Lagi musim Covid-19,” lanjut ibu Nur sambil tekun menggoreng tempe mendoan pesanan pembeli yang lain.

Ibu Nur @Pantai Setrojenar

Meskipun sebenarnya masih dilarang untuk berjualan karena musim corona ini, Pantai Setrojenar ramai sedari pagi, di hari kedua Lebaran Fitri, jelas ibu Nur bercerita. Mau bagaimana lagi, pusing juga kalau sudah sebulan tak ada pemasukan, sementara kita tak tahu kapan corona akan selesai. Ibu Nur juga bersyukur karena di hari pertamanya berjualan lagi setelah sebulan penuh libur, pengunjungnya lumayan. Sesiang itu sudah puluhan tempe mendoan, bergelas-gelas es teh terjual. Tak luput sayuran pecelnya ludes, sampai merebus ke tiga kalinya. Hari itu bisa dipastikan ibu Nur pulang dengan wajah semringah.

SELASA, 26 MEI 2020

“Ora dodolan, Mas. Ngga jualan, lagi ada acara sedekahan: 40 hari meninggalnya paman” kata ibu Nur.

Pukul 09.00 WIB, Aditya anak bungsunya menunjukan sebuah rekaman video yang sudah terunggah di facebook temannya, di video itu tampak ombak Pantai Setrojenar sedang pasang. Warung-warung tersapu ombak, satu-dua orang yang hari itu berjualan terekam lalu-lalang menyelamatkan dagangannya yang mengapung karena terjatuh ketika ombak menerjang. Wah benar saja, saat saya mengecek berita di mesin pencari sudah ada beberapa portal berita daring menuliskan peristiwa itu,

“…di Pantai Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, masih ada pedagang nekat berjualan di pantai. Akibatnya saat ombak tinggi pagi hari dan gelombang pasang, kios-kios mereka pun terhempas ombak. Bahkan barang dagangan mereka juga ikut tersapu ombak.” (suarabaru.id)

Ada hikmahnya juga hari itu tidak berjualan, ombak laut sedang pasang, ibu Nur bertutur.

“Sebelumnya pada senin 25/5 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap telah menginformasikan kondisi gelombang tinggi di perairan selatan Jateng dan DIY. Menurut keterangan prakirawan,  Adnan Dedy Mardika dan BMKG Stasiun Cilacap, kecepatan angin di perairan Kebumen dan Purworejo mencapai 2-15 knot dan gelombang tinggi mencapai 4-6 meter. Bahkan gelombang maksimum dapat mencapai dua kali gelombang yang disebutkan dalam data. Diperkirakan kondisi itu berlangsung selama lima hari ke depan sehingga sangat membahayakan aktivitas nelayan” (suarabaru.id)

RABU, 27 MEI 2020

Pagi sehabis subuh, ibu Nur mengayuh sepedanya ke selatan menuju arah pantai, lokasi ladangnya ada di arah sana, sekalian melihat kondisi pantai, apakah memungkinkan untuk berjualan. Senada dengan informasi dari BMKG kemarin, gelombang laut masih tinggi, pasang menuju pantai, menjangkau warung-warung. Begitu cerita ibu Nur. Jadi hari itu ibu Nur putuskan untuk mengurus ladangnya, menanami bibit cabai dibantu anak bungsunya, Aditya. Sisa hari itu beliau manfaatkan untuk mondar-mandir  di beberapa lokasi ladangnya yang lumayan tersebar.

JUMAT, 29 MEI 2020

Prediksi BMKG akurat. Hari itu gelombang tinggi masih berlangsung, bahkan hari itu seperti puncak tertingginya, ombak pasang jauh ke utara menuju pantai, menghantam warung dengan posisi terjauh sekalipun. Ibu Nur yang terbiasa membawa pulang perlengkapan dagangnya setiap hari tidak kewalahan untuk membereskan sisanya, seperti meja dan baliho. Ibu Nur bahkan sempat mengirim kabar pada tetangganya sesama pedagang di pantai Setrojenar untuk menyelamatkan barang di warungnya. Beruntung tetangganya sigap menuju lokasi dan mengevakuasi perlengkapan dagangnya. Jika saja terekam situasi hari itu amat menegangkan, pedagang berjibaku dengan melawan ombak pasang sebatas lutut sambil menenteng perlengkapan warungnya. Berkali-kali. Suara orang-orang tak henti menyebut nama Tuhan. Merinding. Esok hari dipastikan masih libur berdagang. “Covid-19 belum selesai, ditambah gelombang pasang, manusia benar-benar sedang diuji, cuma bisa nrimo, sabar,” ujar ibu Nur.

MINGGU, 07 JUNI 2020

Sedari pagi Ibu Nur telah meracik dan menata dagangan yang akan beliau bawa dengan keranjang yang disangkutnya di boncengan sepeda.”Cuma jarak sekiloan dari rumah, ngga nyampe malahan. Lima belas menit sampe, ndak repot bawa segini…” ujar ibu Nur. “Nanti siang kalau rame, balik ke rumah ambil lagi…” lanjutnya. Betul saja, wacana persiapan “New Normal” telah digaungkan pemerintah sejak Sabtu, 30 Mei 2020 lalu. Tak dinyana, antusias pengunjung pantai Setrojenar membludak hari itu, Minggu, 07 Juni 2020, hingga beberapa situs berita daring menuliskan peristiwa ini. Salah satunya berita yang berjudul; “Ribuan Pengunjung Padati Pantai Kebumen, Banyak yang Gak Pakai Masker” kontributor: Rinto Heksantoro, Detiktravel, tertanggal 07/06/2020. “Bosan” adalah ungkapan yang tepat saat berbulan lamanya kita berdiam di rumah atas anjuran pemerintah dalam rangka antisipasi pandemi Covid-19 ini. Akan tetapi tak mematuhi protokol juga tindakan bunuh diri pada situasi genting ini. Tak terkecuali ibu Nur, dilema yang beliau rasakan di situasi sekarang ini. Demi mengais rezeki membuatnya melampaui batas. “Alhamdulillah Mas, hari ini pengunjung ramai, penghasilan meningkat berkali-lipat… semoga Covid-19 lekas tuntas…”

SUNRISE @RIFGREAT

#FFKamis – Perempuan Itu Bernama Kayem

​ 

Sebagai anak sulung, menikahlah satu-satunya cara Kayem meringankan beban orangtuanya. Membantu kelangsungan hidup keluarganya. Benar, Kayem dinikahi Tejo,  pemilik berpetak-petak ladang di kampungnya. Demikian, Kayem mempekerjakan adiknya di ladang suaminya. Dapat upah, juga bonus hasil ladangnya. Setahun kemudian, lahirlah  Syukron, anak pertamanya. Sempurnanya kebahagiaannya. Sayangnya, Tuhan menguji ketentraman hidupnya, Tejo berahi, minta istri lagi. Kayem tak sudi, perceraian terjadi. Kayem memutuskan membesarkan Syukron sendiri. Tuhan menguji Kayem sekali lagi: seminggu demam tinggi, Syukron mati. Kayem tak patah hati, sebulan kehilangan anak dan suami, Dulah datang padanya bermaksud memperistri. Kayem mesam-mesem. Kayem tak habis pikir, keberuntungan apakah yang membuat Dulah kesengsem.

#FFKamis – Malam di hari Ulang Tahunku

Gambar: fb.com/LiliaAlvaradoPhotography

[***]
Setahun lalu, Bapak meninggal tepat usiaku 24. Setahun pula kupegang toko baju peninggalannya, di kota K. Tak besar. Tak kecil. Biasa. Tak ramai. Dikatakan sepi juga tidak. Dua manekin menghiasi pojok kanan-kiri toko.

Aku menerima warisan toko Bapak karena memang akulah anak tunggal, dan pengangguran. Tak ada bakat dagang. Hanya berteman dua manekin dengan tampang kusam. Meski bosan, rasanya tak mungkin kubisa menggaji orang.

“Kalian tak bosan di toko? Aku bosan,” racauku pada manekin malam itu.

Ajaib, manekin tersenyum. Bergerak. Mengulurkan tangan. “Selamat ulang tahun…” Suaranya menggema.”Jangan bosan dengan kami,” Mendadak tubuhku kaku. Samar kuingat, benar itu malam ulang tahunku.

[***]

“Happy 4th Birthday Monday Flash Fiction”

Penulisan Kata Depan, Kata Ganti dan Partikel Sesuai EYD

TranslationPapers Bali

EYD

Dalam penulisan ilmiah ataupun dalam penerjemahan teks formal, pengetahuan akan ejaan yang disempurnakan dan penulisan yang benar sesuai dengan EYD sangat diperlukan.

Dalam penulisan kata depan (di, ke dan dari), kata ganti (ku-, kau-, -ku, -mu, dan -nya) dan partikel, acapkali kita dibingungkan dengan mana yang harus ditulis serangkai dengan kata yang mengikuti atau yang mendahuluinya dan mana yang harus ditulis terpisah.

Berikut adalah sekilas tentang tata cara penulisan kata depan (di, ke dan dari), kata ganti (ku-, kau-, -ku, -mu, dan -nya) dan partikel yang dikutip dari Pedoman Umum EYD Permen RI Nomor 46 Tahun 2009.

1. Penulisan Kata Depan di, ke, dan dari

Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata, seperti kepada dan daripada.

Misalnya:

Bermalam sajalah di sini.

Di

Lihat pos aslinya 409 kata lagi

Sudah Terantuk Baru Tengadah

Foto:@julialillardart

​”Kalau kau ingin pulang, pulanglah

“Terserah kau. Tapi jangan harap aku akan menjemputmu

“Dari dulu kau memang istri keras kepala. Tak pernah mau nurut apa kataku. Suamimu.”
Tut tut tut…

Kuputus telepon istriku begitu saja.

**

Benar saja, keesokan harinya aku mendapat kabar dari ibuku bahwa istriku pulang ke Probo tanpa permisi. “Biarin Bu, suka-suka dia sajalah,” jawabku.

Tentu saja aku sudah muak. Peduli setan dengan istri macam begitu, susah diatur. Tak bisa akur dengan mertuanya, ibuku. Lagipula, sejak sebulan lalu aku diam-diam menjalin hubungan baru. Mila, kukenal dia dari sosial media. Menurut pengakuannya dia pun seorang janda. Setelah bertemu beberapa kali, kini ia tinggal  di kamar kostku.

“Sayang, jadi kapan kita menikah?” 

“Aku usahakan secepatnya,”  kataku.

“Tak perlu kau ceraikan istrimu, Mas, yang penting nikahi aku.

“Nikah siri saja, aku mau,” rengeknya  sambil menggelayut manja, mengusap-usap dadaku.

“Baiklah, besok aku minta bantuan kenalanku dulu,” jawabku.

Dan, begitulah akhirnya aku mengawin siri Mila dengan serampangan tanpa wali.

Secepat aku melupakan Yati istriku, juga kedua anakku. Cukup kujalankan kewajibanku, selebihnya tak sekalipun aku mengabarkan dan mendengar kabar dari mereka. Toh, kini aku tenteram hidup bersama Mila, sampai pada akhir yang tak kuduga…

Setahun kemudian, kurasakan perubahan drastis dari Mila. Kecurigaan-rambanganku. Dia gampang marah. Mencamuk, saat akhir pekan aku lebih memilih lembur. Membanting piring, melempar apa saja yang dijangkau tangannya. Malam puncaknya ketika baru saja kubuka pintu sepulang kerja…

“Kau… kaumasih mengirimi uang untuk anakmu di kampung, kan, Mas?” sambarnya.

“Ya, biar bagaimanapun Joni dan Siti itu darah dagingku, aku berkewajiban menafkahinya.” 

“Tapi kau juga memberikan jatah lebih untuk istrimu itu, kan?

“Tapi…”

“Tapi apa? Kaupilih kasih, Mas. Sisa gajimu baru kau berikan padaku!” Sambil melemparkan buku tabungan, tangis Mila makin membahana.

“Aku juga tahu kau masih berhubungan dengan Andi…” kataku akhirnya meledak.

Seperti terkejut, mata Mila mencelos.

“Akumu dia mantan suamimu? Jelas bukan. Kau penipu. Kalian menipuku. Bersekongkol menguras uangku. Aku baca semua pesanmu. Aku dengar obrolan teleponmu semalam dengan bajingan itu.”
Kalap. Memungut pecahan kaca, Mila mengacungkannya padaku. Kulihat tangannya berdarah demi menggenggam pecahan itu. Mengancam. “Pergi!” teriaknya, “berani kau kembali, aku akan bunuh diri!”

Tak berniat membuat situasinya memburuk, aku pergi, tanpa tahu ke mana arah dan tujuanku.

Menyesali segalanya, sepertinya pun percuma.

Untuk Prompt #135 – Hubungan Sesaat @MondayFF

 

Peluru Yang Bersarang di Otakku

Foto: korannonstop

~
DOR! Peluru dari revolver rakitanku melesat, menembus kaki istriku. Tubuhnya ambruk. Berdebam. Darah merembes dari kakinya. Aku kalap saat dia mengabarkan kehamilannya. Padahal seingatku, setiap permainan kami, kukenakan kondom. Tetangga berkerumun, melarikan istriku ke rumah sakit, aku berlari ke kantor polisi menyerahkan diri. Pendeknya, aku divonis sepuluh tahun, meski aku berharap lebih lama dari itu. Tentu saja kautahu maksudku, aku pengangguran. 

Sepuluh tahun ternyata berlalu cepat hanya dalam satu paragraf ceritaku.

Aku harus berjuang untuk hidup,  pikirku. Tak lagi punya tempat tinggal, aku menggelandang. Hingga angin membawaku pada kepala begal. Tiba-tiba…

“Kau bisa menembak?” 

“Bisa.” 

“Bagus. Mari, kau kurekrut jadi anggotaku!”
Begitulah kira-kira, singkat cerita kini aku bagian dari mereka.

Tengah malam beroperasi. Di jalanan sepi, pengendara motor sial melintas, kami beraksi.

Memepet dari kanannya, “Berhenti!” teriak temanku.

Pengendara kalap, memacu motornya, “Bangsat! Tembak saja, Cuk!” usul temanku. Aku bersiap.

Di tengah keremangan kutarik pelatuk, kubidik korban sialan itu. DOR! Revolverku mengenai lengan targetku. Oleng. Beruntungnya, motor itu ambruk ke semak-semak, sementara pengendara terpental, tubuhnya berdebam menghantam aspal. Dalam keremangan kulihat darahnya mengucur. Gegas kuambil alih motornya. “Mampus. Dasar sial!” Aku menyumpah. Misi pertama berhasil. Begitu juga dengan misi-misi selanjutnya. Bertahun-tahun.

Sampai pada akhirnya polisi mengendus aksi kami. Pertempuran sengit terjadi, markas kami terkepung. Kulihat kawan-kawanku lari dalam bingung, sementara aku nyaris limbung setelah peluru nyasar menembus kakiku yang dibungkus sarung. Darah menerus di tengah pelarianku. Terkatung-katung. Tepat di saat napasku tersisa satu-satu, seraut wajah sangat kukenal, dialah mantan istriku. Seketika aku rebah.


“Bangun! Bajingan keparat!” teriakan itu mengembalikan kesadaranku dalam lemas. Aku terkejut, posisiku terduduk, sekaligus terikat dalam kursi. Darah masih menetes dari betisku. Perih.

“Halo, Bajingan, apa kabar?” 

BUK! Dia menendang tulang keringku sepersekian detik sebelum sempat aku menjawab. Aku mengaduh dalam sakit yang tak terkira.

“Kau akan ingat ini,” ucapnya saat menunjukkan benda di balik genggaman tangannya, lalu mengarahkannya ke dahiku. “Persis, kan?” desisnya. 

Aku ingat, itu revolverku yang melepaskan peluru pada betis istriku dulu.

“Jikalau bukan karena aku dinikahi lagi oleh polisi itu…” katanya sambil meneteskan air mata. 

“Kau… kautega membunuh bayiku, Bangsat!” ucapnya dingin. Menatapku tegar. Sambil menarik pelatuk, kulihat tangannya gemetar. Tak peduli aku gusar.

DUAR! Peluru itu bersarang di otakku untuk sekejap lalu keluar.

***

Untuk Prompt #134: Peluru @MondayFF

LIBRA

Gambar: Arteide- Eduardo Rodriguez

Jam 9.00, bel berbunyi, waktu istirahat. Gegas aku ke kantin, karena tadi pagi belum sempat sarapan. Membeli sebungkus nasi kuning dan segelas es teh, aku duduk di pojok kantin.

Membawa sebungkus roti, Bono datang menghampiriku.

“Lo beneran putus sama Tono, Mar?”

Sedetik aku berhenti menyendok nasi, “Iya,” jawabku singkat tanpa memandang Bono.

“Bukan karena kemarin lo nemenin gue ke distro kan?”

“Hmmmm.” Sendokkan terakhir, dan nasi kuningku tandas.

“Begini ya, gue sama Tono emang udah tengkar jauh sebelum ini, bukan karena kemarin gue nemenin lo ke distro terus jadi masalah.”

“Syukur deh… lo emang temen yang baik, Mar. Makasih ya, kemarin udah mau dengerin curhat gue.”

“Eh, terus gimana, lo udah baikan sama Lisa?”

“Udah sih, tapi Lisa tetep minta kita udahan.”

“Sabar ya, Bon. Suatu saat lo pasti dapet yang lebih baik.”

Obrolan otomatis terputus waktu bel tanda masuk berbunyi. Bono yang polos dan malang, batinku.

Kuselesaikan hari dengan sepenuh hati. Menyimak pelajaran Bahasa Indonesia dengan tekun. Hingga bel tanda usai pelajaran berbunyi.

Nanti sore, jangan lupa ya, datang ke Ultah adek gue. Bono mengirim pesan.

*

Jam 15.00, aku sampai di halaman rumah Bono. Dia datang menyambutku. Orangtuanya mempersilakanku masuk. Baru selangkah masuk, adiknya langsung menghadangku.

“Hadiahnya mana, Kak?” todongnya. Kuulurkan padanya kotak kado berisi mainan, membuatnya otomatis kegirangan. “Horeee, makasih, Kak Marisa!” katanya sambil mengecup punggung tanganku.

“Sama-sama,” jawabku sambil mengusap-usap kepalanya.

Kembali adik Bono menghambur, bercengkerama dengan teman sebayanya. Berlari-lari.

Bono mempersilakanku duduk.

“Terima kasih ya, sudah mau datang,” katanya. Kuanggukkan kepala. Tak berapa lama, anak-anak menyanyikan lagu beruntun selamat ulang tahun-tiup lilin-potong kue dengan riang gembira. Diawali dengan berdoa sebelum potong kue, semua mengamini dengan khidmat.

Setelah memberikan potongan kue pertama untuk orantuanya, secara mengejutkan adik Bono memberikan potongan keduanya padaku.

“Buat Kak Marisa,” katanya. Serempak tepuk tangan bergemuruh.

Sambil kukecup keningnya kuucapkan “Terima kasih.”

“Kak Ma-ri-sa…” ucapnya terbata, “Kak Bono jom-blo-loh, mau nggak, Kakak jadi pacarnya?”

Sekakmat. Serasa tersedak kue tart, aku tak sanggup berkata-kata. Hingga pesta ulang tahun itu usai.

Aku pamit pulang. Bono mengantarku menaiki Busway bersama. Tak ada percakapan sedikit pun di antara kita.

“Marisa, maaf soal yang tadi dibilang adikku,” katanya akhirnya, setelah sampai di Kalideres.

“Nggak apa-apa, Bon,” jawabku. Kami berpisah di situ.

Sambil menunggu Bus AKAP menuju Poris, aku iseng membeli majalah.
Kubuka halaman demi halaman dengan malas, hingga mataku tertumbuk pada halaman yang memuat ramalan zodiak. Jariku menekuni satu per satu, terhenti pada LIBRA.

… Banyak yang kagum pada Libra… zodiak yang paling suka bergaul…

Mereka pendengar yang baik… namun, tidak begitu tegas dalam memutuskan sesuatu…

Baik pria maupun wanita Libra, umumnya cepat mendapat jodoh.*)

Kututup majalah itu, saat bus Primajasa: Kalideres-Poris menderu di depanku. Kulambaikan tangan pada kernet, gegas masuk menekuni bangku kosong. Setelah aku duduk, bus siap melaju. Begitupun denganku, esok kan kusambut hari baru.

__

*dari zodiaktop

Untuk Prompt #132 – Zodiak @mondayFF

Ikat Kepala Kakekku

Gambar: Webtoon

”Jangan macam-macam dengan barang peninggalan Kakekmu.” ujar ibu.
“Nggak apa-apa, Bu. Ini kan cuma ikat kepala. Kupakai saja.”

Sejak itu ikat kepala kujadikan jimat keberuntungan. Selalu kubawa kemana saja. 
*
Tengah malam. Hujan gerimis. Rintik menitik bau amis. Langkah kaki berderap-derap, rupanya itu suara langkah kaki Amar dan Amir keliling ronda, mengepul beras jimpitan. Sesekali siul-siul, bernyanyi.
DEG. Mendadak sunyi. Bibir Amar dan Amir tak lagi berbunyi. Tepat di teras rumah yang hanya diterangi bohlam lima watt. Temaram. Sesosok nenek menghadap tembok, sibuk menyisir rambut putih panjangnya. Paling Mbah Yem, batin Amir.
“Lagi ngapain, Mbah? Dhidhis kok tengah malam?” sapa Amar, melangkah-mendekat, mengambil beras di gantungan teras. Geming. Nenek itu tak menjawab. “Permisi…” Gegas Amar mengajak Amir pergi. Seusai berkeliling kampung, saat kembali ke pos, seseorang memberi tahu, rumah itu kosong, ditinggal pergi ke luar kota sore tadi.
**
Kejadian di teras rumahku itu mendarat di telingaku esoknya, saat keluargaku pulang.
Bualan, batinku.
Malamnya, hujan-geluduk turun. Gemerisik nyanyian daun gayam membuatku mengantuk, aku rebah.
Tak… Tuk… Sayup  kudengar suara tetes air menembus genteng bocor. Kuabaikan.
Tuk… Tuk… Suara itu semakin riuh.
Pergelangan kakiku serasa digigiti nyamuk. Nyeri.

Berat, kupaksakan buka mata demi menggaruk. Kutekuk kakiku, agar tanganku leluasa menggaruk. Namun, kurasakan tanganku digerayangi. Astaga! Aku melonjak. Sekumpulan rangrang menggigiti kaki dan tanganku. Terhuyung-huyung, menyeka rangrang di tangan dan kakiku. Banyak. Rangrang terus jatuh dari sarangnya yang terhempas angin, masuk melewati atap genteng yang bocor. Perlahan merayapi tembok, kupandangi dari posisiku berdiri, perlahan membentuk gambar serupa wajah. Entahlah. Aku melanjutkan tidur di kamar sebelah.

**
Malam Jumat, saat tertidur pulas, dalam mimpiku, melintas sesosok makhluk berbaju hitam, tinggi menjulang, hingga tak dapat kulihat wajahnya.  Mengitariku berkali-kali. Tak berhasil kubaca ayat-ayat. Lidahku kelu. Kaki besarnya menginjak leherku. Engap, aku tak  bernapas. Lalu dingin merambat di leherku, seketika mataku terbuka. Kupegang leherku, benda empuk bergerak-gerak. Tanganku refleks melempar. SIAL! Ular sebesar jari tangan baru saja menggerayangiku, menggeliat di jendela saat kunyalakan lampu. Menjulurkan lidah bercabang, seperti mengejekku. Tubuhnya abu-abu, kepalanya merah. Gemas, sigap kuambil gagang sapu. Kupukul-pukul. Kepalanya nyaris hancur. Ekornya menggeliat, melingkar, seperti menyembuhkan kepalanya.

Seketika sekelilingku mendadak gelap. Asap mengepul mengepungku. Kembali dingin merambati kepalaku. Air menetes-netes, baunya anyir darah busuk.

Kudongakan kepala,  dua bola jingga semburat terang menatapku dari ceruk mata yang buyar kelopaknya. Lengkungan mulutnya selebar bulan sabit, gigi-gigi tajamnya terbit. Rambut putihnya menjulai, dari tengkorak yang cerai-berai. Beruntun terdengar desahan menggema di telingaku, “I-kat ke-pa-la-ku…”

___
*Dhidhis : mencari kutu sendiri

Untuk Prompt #131 – Horror @mondayff

 

Apakah Ini Bisa Kausebut Kisah Cinta?

Gambar :@julialillardart

Titik-titik hujan di bulan Oktober membangkitkan kenanganku di masa lalu.

 

Berkelebat kisah waktu titik-titik hujan membasahi seragam Yani, kala berteduh di emperan rumahku sepulang sekolah. Menolak masuk saat kupersilakan. Tampias menderas. Kuputuskan untuk mengantarkan dia pulang. Berjalan canggung, sepayung.

 

DULU, semasa Sekolah Dasar, kami sering bermain bersama. Bersandiwara menjadi orangtua…

 

“Kamu jadi bapaknya ya!” ujar Yani.

 

Aku protes. “Nggak, aku ingin jadi ibunya!”

 

“Tapi…” Yani menggaruk kepala.

 

“Kan, cuma bohongan, ceritanya aku yang hamil.” Aku menjelaskan.

 

“Baiklah.” Yani terpaksa setuju.

 

Cerita berlanjut, aku pura-pura menjadi ibu yang hendak melahirkan, mengelus perut, ekspresi wajah gelisah, lengkap dengan dialognya. Yang kesemuanya kusalin dengan cermat saat menyaksikan keseharian ibuku.

 

Aku tersenyum, teringat potongan kisah itu. Di luar hujan masih bergemericik. Benakku asik menerawang, kenangan terbang membayang…

 

Aku dan Yani telah remaja, masuk SMA berbeda. Kita jarang bertegur sapa. Senyum hanya sekadarnya saat bertatap muka. Yani semakin cantik saja. Sedangkan aku tetap biasa.

 

Sesekali kulihat Yani pulang dengan teman lelakinya. Belakangan hampir tiap hari Yani jalan dengan lelaki yang sama. Kuat dugaanku lelaki itu pacarnya. Setahun aku absen menyapanya. Aku bukan siapa-siapa.

 

Hmmm. Gemericik hujan makin berisik.

 

Tahun kedua di SMA, kudengar kabar Yani dikeluarkan dari sekolahnya. (Tahun yang sama ketika kuantarnya pulang) Yani mulai mengurung diri di kamarnya. Lelaki yang sama sesekali menjenguknya.

Sembilan bulan kemudian kudengar Yani melahirkan anaknya.  Saat itu aku baru tahu selama ini Yani menyembunyikan kehamilannya. Aku sedang sibuk bergelut dengan Ujian Nasional. Aku masih bukan apa-apa…

 

Sebulan setelah melahirkan, barulah Yani dinikahi lelaki yang sering menjenguknya. Tiga bulan setelahnya, Yani dicerai suaminya, saat mengetahui bayi itu bukan darah dagingnya, melalui serangkaian tes DNA.

 

 

Seketika itu,  aku yakin bayi itu adalah hasil karyaku. Ya, tragedi sepayung berdua kala itu, sesampaiku di rumah Yani yang sepi, birahiku menggebu, dan kami bercumbu.

 

***

Untuk Prompt #129- Love Story @mondayff