Setelah lebih dari dua tahun vakum membuka blog, bahkan dijeda alamiah oleh pandemi, akhirnya saya mencoba menulis lagi, tapi mencoba di platform yang berbeda dengan tulisan yang sedikit tabu tentunya , (upss) seolah menantang diri sih sebenarnya. mengangkat tema atau isu sosial yang sedang naik daun juga ya, genre yang zaman kiwari sering muncul di film layar lebar atau sekadar serial platform daring, apalagi kalau bukan boyslove. hihi
lagi lagi saya mohon maaf jika tidak berkenan.
langsung saja ya, karena sudah diserang rasa kantuk juga, saya bagikan draftnya berikut,
Tulisan aslinya ada di platform Joylada
eh anu..
ini dia cuplikan bagian 6 nya…
*******
Saat tangannya digamit dua orang yang begitu spesial di hati Dodi–ibu dan Jabar–menuju pelaminan, mulutnya memang hanya bisa diam, dadanya berdebardebar. Tapi nyatanya pikiran Dodi sedang traveling jauh pada kilas balik tiga bulan yang lalu saat pertamakali ibunya mengutarakan mimpi masa depannya untuk anak sematawayangnya itu.
Sore sehabis Dodi tuntas menyelesaikan kesibukan kerjanya di kantor, Galaxy Note 9 nya bernyanyi lagu favoritnya, Scenario Love dari IKAN boyband Korea yang kini sudah cukup terkenal. Rupanya ada panggilan dari ibunya.
“Halo, Di, jadi kan pulang ke Cianjay malam ini?”
“Jadi bu, Dodi sudah minta tolong Jabar untuk anterin ke terminal sehabis magrib.”
“hati-hati di jalan ya. jangan lupa berdoa.”
“Baik ibu ratu.”
**
Gegas Dodi menancap gas motornya membonceng Jabar tentu saja, menuju rumah yang baru ditempatinya 3 bulan yang lalu setelah dua tahun tinggal di kostan kecil. Jabar adalah teman istimewa, sekaligus orang yang paling berjasa di hidupnya. Terlebih dari itu ada janji rahasia di antara keduanya yang sangat tabu jika diketahui khalayak ramai, bahkan kedua orangtua masing-masing.
“tumben banget ibu nyuruh kamu pulang dadakan begini? ada apasih Di?” cecar Jabar setelah motor mereka parkir di halaman rumah
“Mungkin masalah warungnya, Bar. kemarin Ibu cerita sedikit ditawarin jadi agen galon air mineral sama pamanku, tapi kurang tahu juga detailnya bagaimana.”
“Paman Asep yang suka hutang itu sama ibumu kan?”
“iya.”
“Semoga sih bukan kedok buat hutang lagi ya!”
“jangan gitu. ngga boleh buruk sangka sama orang.”
“iya deh. iya. udah siap semuanya kan kamu packingnya? buruan mandi gih, biar abis magrib langsung gas.”
“oke.”
Tak ada kecemasan berlebih dari Jabar kala mengetahui kepulangan Dodi yang mendadak itu hanya untuk urusan rumah dan mungkin rindu ibunya. Kelak, Jabar akan tahu kalau urusannya tak seremeh itu. Setangah jam kemudian mereka telah siap untuk mengaspal lagi menuju terminal bus.
Bus yang ditumpangi Dodi berangkat tepat waktu. Laju 3 jam yang tak terasa karena lelah sehabis pulang kerja yang dirasakan Dodi, ia terbangun saat kernet bus membangunkannya di terminal kota tujuannya, membuka pesan di ponselnya yang berisi teks dari ibunya.
paman asep yang jemput dodi ke terminal. nanti hubungi dia saja ya Di.
Saat turun selangkah dari Bus, rupanya Paman Asep memarkir motornya tepat di sebelah pintu depan bus, otomatis paman Asep langsung mengenali postur ponakannya itu terlebih dahulu saat keluar dari AgroMas. dua orang beda usia itu bersalaman lalu bercakap sebentar sebelum keduanya mengendarai CB100 berboncengan.
Jarak terminal menuju rumahnya hanya 30 menit mengendarai sepeda motor. Sehingga tepat pukul 21.30 mereka sudah sampai di depan rumah dengan di sambut Ibu Minah yang masih mengenakan mukena, karena mungkin enggan melepas sehabis salat isya.
Tampak segera pemandangan Ibu dan anak itu saling berbalas pelukan rindu. Tak lupa Dodi mencium punggung tangan ibunya tanda bakti anak dengan orangtuanya.
Ibu Minah lalu mengangsurkan selembar lima puluh ribuan pada adik kandungnya yang sudah mau direpotin, ibu minah juga tak lupa mengucapkan terima kasih.
“Masuk di, langsung mandi ya, ibu sudah panasin air tadi buat kamu mandi, semoga belum dingin ya di ember.”
“baik, bu. Dodi mandi dulu ya.” jawab Dodi sambil berlalu. Melucuti sepatu Reebox putih dan jaket EGIER warna dongkernya. Kaos putih bergambar kepala panda, celana chinos krem, ke semua pakaiannya itu adalah hadiah dari Jabar di setiap ulang tahunnya. Itu artinya baju couple yang sepotong lainnya Jabar juga punya sama persis. hal ini adalah sebagian kecil rahasia mereka berdua.
“Ibu udah masakin rica-rica bebek kesukaanmu, Di. Makan dulu ya, sebelum tidur. kamu pasti lapar kan?” sapa Ibu Minah kala melihat anaknya sudah rapi keluar dari kamarnya dan memakai piyama.
” ibu udah makan?”
“udah tadi sore. kamu kemaleman sih.”
“yah curang, Dodi makan sendirian dong.” rengek Dodi manja. meski usianya sudah cukup dewasa, sifat anak tunggal tetap kembali pada aslinya saat bertemu orangtua–atau lebih tepatnya hanya pada ibunya adi bisa bermanja–, itu karena ayah Dodi telah lama meninggalkannya sejak SD. orangtuanya bercerai atau hanya pisah semacam itulah.
“ibu temenin di meja makannya ya.”
Ritual makan berlalu dalam lima belas menit saja. Dodi yang sebetulnya masih penasaran dengan maksud ibunya memintanya pulang mendadak pun akhirnya bertanya.
“Ibu, ada masalah apa sih kalau boleh tahu.” tembak Dodi pada akhirnya.
Ibu Minah sekejap menghentikan kesibukan tangannya menyulam pada kain sewarna buah persik, selembar kain yang lebarnya seukuran taplak meja. Menghela napas. lalu meletakkan prakaryanya itu di meja makan.
“tidak apa-apa kalau ibu ngomong sekarang? atau besok pagi saja?”
“Sekarang saja bu, Ibu kan tahu anak ibu paling ngga bisa tidur dalam rasa penasaran, yang ada Dodi cuma insomnia bu.” Sambil Dodi berjalan menuju wastafel untuk memberesi piring kotornya. Sekejap untuk duduk kembali di samping ibunya persis.
“Ada apa?” ulangnya dengan nada lemah lembut.
“Ibu punya keinginan. sekaligus mimpi masa depan seorang ibu pada anaknya.”
Deg. Hati Dodi mendadak nyeri, seolah sekawanan lebah baru saja menyengat dadanya. Dia lebih dari paham maksud ibunya meski kata kunci itu belum sepatah katapun terucap.
” Dodi Mau kan ya mewujudkan mimpi ibu?” Kali ini tatapan sendu seorang ibu menabrak mata Dodi dengan telak. Genggaman tangan hangat itu seolah mengandung aliran listrik yang akan mengendalikan gerak lidah Dodi selanjutnya.
“Tapi…Dodi belum siap bu, Dodi masih belum siap mengungkapkan semuanya pada ibu,” tentang Jabar. Benar belaka, lidah Dodi kelu, tak ada kata selanjutnya yang lidahnya mampu ucap selepas tapi.
“Tenang, Di, ibu sudah punya calonnya, Dodi tak usah repot mencari..”
“Siapa Bu?” Dodi masih sedikit terbata.
“Dini, anak pak Kyai Samsul. dia baru saja selesai dari pesantren. Anaknya pasti pinter. Calon istri solehah buat kamu. Ibu cocok sama dia. Dodi pasti cocok, orangnya kalem kok. Dodi pernah bilang sama Ibu, tak suka perempuan agresif dan cerewet selain ibu kan?” ungkap ibu minah dengan berapi-api.
“Kapan? sejak dulu ibu memang selalu memutuskan jalan hidup Dodi, tapi untuk yang satu ini apakah harus juga Bu? lagipula ini semua terlampau mendadak bu, Dodi butuh waktu menjelaskan semuanya pada Jabar, atau paling tidak memikirkan rencana terbaik untuk mengakhiri semuanya jika memang harus.”
“Sesiapnya Dodi ya, kalau besok cukup kenalan dulu saja, eh apa itu ya namanya PDKT ya?” Ibu Minah menggenggam tangan anaknya seolah penuh harapan.
“Nah, untuk selanjutnya kita rembug lagi…” cerocos Ibu Minah tanpa menunggu tanggapan Dodi
“… tapi ibu punya rencana, bagaimana sehabis idulfitri kamu lamaran? setuju ya? Tapi jangan buru-buru. nanti saja itumah gampang. Udah sekarang kamu istirahat dulu, sudah malam. Ibu mau lanjutin ini sebentar.” Dodi berjalan dengan langkah bak robot yang nyaris habis baterainya saat menuju kamar. Sementara Ibu Minah melanjutkan sulamannya menggambar sebentuk kelopak bungan mawar berwana merah.
Dodi tergeletak di kamar tidurnya dengan rasa campuraduk. seolah tak ada pilihan lain. melawan restu apakah hal yang mungkin jikalau hubungan terlarangnya dengan Jabar yang jelas tabu dan sangat mustahil untuk mendapat doa restu ibu.
Matanya terpejam dalam rasa kebas nan ganjil menggerogoti badannya. semua orang patah hati atau semacamnya pasti tahu bagaimana rasanya, yah, antara mimpi dan nyata. Belum lagi, ia memikirkan bahwa besok masih harus bertemu langsung dengan Dini, gadis yang samar ia kenal waktu kecil saat taman kanak-kanak, juga karena rumah mereka hanya terjeda lima petak rumah tetangga.
Ponselnya bergetar, ada beberapa baris teks dari Jabar pada pita layar pemberitahuan namun tak mampu Dodi ketuk pintasan untuk balas pesan.
“Di, udah sampai jam berapa tadi?”
“kok ngga kasih kabar?”
“ya sudah met istirahat ya libby.”
Libby dan Liebbo adalah kode panggilan kasih sayang antara Jabar dan Dodi, entah siapa yang pertama memberikan ide. tapi yang jelas, sejak mereka saling bepergian bersama, panggilan itu terbentuk dengan alamiah. mengalir bagai air sungai yang didamba samudera. tanpa ada keterpaksaan.
Jabar, aku minta maaf. jika kelak aku benar-benar tak bisa melawan kehendak ibuku. aku harus jadi anak tunggal yang baik untuk ibuku. Mungkin begitulah batin Dodi jika dapat berucap. tapi nyatanya hanya air mata berlinang bahasa tubuh yang mampu Dodi tunjukkan pada malam menuju sabtu itu.
Esok pagi saat membuka mata, Dodi berharap semua yang terjadi ini hanya halusinasi.
Link Joylada SUARA-SUARA DI KEPALA